Minggu, 15 September 2013

NENEK IPAH PENJUAL KUE SURABI

Minggu 15/9/2013 pukul 20.30 WIB, Pasar Cihaurgeulis, Bandung

     Di sepanjang jalan setelah anda keluar dari jembatan Pasopati yang menjadi salah satu ikon kebanggaan warga Bandung, anda akan melewati jalan Suci. Jalan Suci ini merupakan kawasan industri kaus dan sablon kota Bandung. Di sisi kiri dan kanan jalan anda akan melihat papan reklame dari masing-masing unit usaha industri. Ukuran papan reklame dan tulisannya yang besar seolah-olah meneriakan promosi para pemilik usaha ditengah gencarnya persaingan yang terjadi. Kebanyakan slogan yang tertuang menonjolkan pada kecepatan pengerjaan produk dan kuantitas yang dapat dipesan. Hal ini tentu dapat dipastikan terlihat ketika anda benar-benar melewati kawasan industri ini.
     Masih di sekitaran jalan Suci, fenomena lain muncul ketika anda berada di depan pasar Cihaurgeulis tepat di bahu kiri jalan. Setiap malam hari sekira mulai pukul 19.00 hingga 22.00 WIB, anda akan melihat nenek penjual panganan surabi khas Sunda yang sudah renta. Berbeda dengan hiruk pikuk teriakan promosi yang diwakili papan reklame sebelumnya. Nenek penjual kue surabi ini tampak pasrah dalam menjual dagangannya. Tidak ada papan reklame, suara seruan promosi, bahkan lampu yang menunjukan keberadaan dirinya apalagi menunjukan bahwa dirinya sedang berjualan.
     Nenek tersebut bernama nenek Ipah. Usianya  kurang lebih sekira 73 tahun. Beliau sendiri tidak begitu yakin dengan usianya. Ketika ditanya pun beliau hanya bisa menjawab bahwa beliau lahir sekitar tahun 1940-an, dan dengan sendirinya beliau mengungkapkan bahwa dirinya menikah pada usia 14 tahun. Pada saat mengungkapkan pernyataan spontan itu sempat terlihat raut bahagia dan senyum tulus dari bibir nenek Ipah yang seketika menyingkap keriput di pipinya.
     Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama saat beliau disinggung mengenai keberadaan sanak saudara dan penghasilan usahanya, raut muka nenek Ipah menjadi terlihat murung. Saudara nenek Ipah yang tersisa ada 2 orang dengan usia yang tidak terpaut jauh. Selanjutnya, belum sempat menceritakan penghasilan yang didapatnya setiap hari, ada perasaan tidak kuasa jika terus memaksa beliau mengutarakan apa yang harus dialaminya setiap hari. Mengingat takut membuat nenek Ipah sedih, pembicaraan pun terhenti bersamaan dengan dengan matangnya kue surabi hangat yang dikemas secara sederhana menggunakan kertas koran.
     Dibalik tubuh rentanya, baju lusuhnya, serta dengan menimbang berbagai keterbatasan yang harus dihadapinya. Nenek Ipah adalah salah satu wanita berdaya juang tinggi, beliau berusaha untuk menjalani hidupnya tanpa mengandalkan dan mengemis belas kasihan orang lain. Salut untuk nenek Ipah !

Critics, suggestions, and info : desi.ayuningtyas44@gmail.com or @DCmargana or Desi Ayuningtyas